Laman

Sabtu, 17 Januari 2015

Khotbah Minggu, 18 Januari 2015 : Pengendalian Diri [1 Korintus 6 : 12 - 20]




Orang-orang Korintus mempunyai slogan, “segala sesuatu halal bagiku” atau sama artinya dengan “saya bebas melakukan apa saja yang saya kehendaki.” Ada kemungkinan bahwa jenis pemikiran ini muncul di tengah-tengah orang Korintus seiring berkembangnya libertinisme (kebebasan tanpa batas) di Korintus. Paulus mengutip sebagian dari slogan-slogan itu, dan kemudian memberi pengertian yang benar tentang istilah tersebut. 

Paulus berkata: Ya, orang Kristen itu bebas, segala sesuatu halal bagi orang Kristen; tetapi tidak semuanya berguna bagi orang Kristen. Kalimat tidak semuanya berguna, menjadi pembatas dari kebebasan setiap orang Kristen. Kebebasan Kristen tidak boleh dipakai menjadi kesempatan untuk ijin membenarkan semua perbuatan. Paulus mau menjelaskan bahwa tidak semua praktik kebebasan itu menguntungkan bagi pembangunan Jemaat (10:23), tidak selalu kebebasan pribadi itu mendatangkan kebaikan bagi Jemaat atau orang lain. Paulus menambahkan bahwa dia tidak membiarkan dirinya diperhamba oleh suatu apapun di dalam melaksanakan kebebasannya. 

“Tidak membiarkan diri diperhamba” artinya ada penguasaan diri. Penguasaan diri bagi orang Kristen menunjukkan tingkat kedewasaan rohaninya, yang tidak hanya dalam satu aspek saja, tetapi meliputi seluruh aspek kehidupan; suatu karakteristik yang mampu menahan diri secara moral terhadap segala godaan dan segala kenikmatan dosa. Penguasaaan diri sangat diperlukan untuk mencegah kita jatuh ke dalam pelbagai kebebasan yang tidak bertanggungjawab, Penulis Amsal berkata, “Orang yang tak dapat mengendalikan diri adalah seperti kota yang roboh temboknya” (Amsal 25:28). Artinya, orang yang tidak mampu menguasai dirinya maka kepribadian, yang adalah benteng dari hidup seseorang akan runtuh seiiring dengan pelbagai hal yang tidak mampu ia kontrol. Menjadi orang yang bisa menguasai diri dalam segala hal adalah sebuah proses, tidak semudah membalik telapak tangan. Penguasaan diri dan disiplin diri adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan! Paulus menggambarkan hidup sebagai arena pertandingan, di mana kita harus berjuang dan bisa menguasai diri dalam segala hal agar dapat mencapai garis finis dan memperoleh hadiah yang disediakan. Disiplin diri adalah hal penting dalam pertandingan hidup ini. 

Tetapi dalam kehidupan sekarang, amat sulit untuk menemukan orang-orang yang mampu menguasai diri. Ibarat mobil yang kecelakaan karena remnya blong, demikian banyak dari antara kita yang rem kehidupannya blong, tidak terkendali. Tentu saja, ini tidak terlepas dari seribu-satu macam tawaran yang  diberikan oleh dunia ini, yang kelihatannya sayang kalau tidak di ambil, sehingga memunculkan moto hidup, nikmati apa yang tersedia, turuti apa yang kamu inginkan, dll.  

Betapa sering kebebasan moral yang menganjurkan orang untuk memenuhi segala keinginan, telah demikian kuat mempengaruhi kehidupan kita sekarang. Gaya hidup yang "aji mumpung" atau serba mumpung. Mumpung lagi muda, maka waktu dipakai hanya untuk memenuhi kepuasan. Akhirnya, yang ada hanya penyesalan dan meratapi segala waktu yang terlewati tanpa ada makna. Mumpung lagi punya duit, semuanya di beli. Mumpung lagi sehat, maka bisa makan ini dan itu. Mumpung lagi punya kuasa, mumpung lagi punya jabatan, mumpung lagi punya relasi, mumpung lagi punya ini dan itu, mumpung lagi dan mumpung lagi. Kehidupan “aji mumpung” kita yakini sebagai cara "menikmati hidup". Seperti halnya keinginan makan dituruti dengan tindakan makan, demikian juga setiap keinginan harus dituruti! Tidak peduli benar atau tidak! Yang penting menikmati hidup.

Ada ungkapan: “Kebebabasan untuk bertindak sesuai kehendak diri, adalah perhambaan yang paling parah dari semua perhambaan yang ada.” Ungkapan ini menyiratkan bahwa kebebasan kehendak diri adalah kebebasan yang didorong oleh keinginan dan nafsu kita sendiri. Nafsu yang memperhamba kita atas setiap tindakan-tindakan kita. Ketika sebuah keinginan dipenuhi, maka keinginan yang lainnya akan menutut pemenuhannya (kepuasannya). Itulah perhambaan yang lama di bawah dosa (Rm 6:12-13).

Slogan lainnya mengungkapkan kebebasan sehubungan dengan apa yang dimakan seseorang: “Makanan adalah untuk perut dan sebaliknya.” Orang Kristen dibebaskan dari hukum-hukum pantangan dalam Perjanjian Lama (Mrk. 7:18-23); karena apa yang kita makan tidak membuat kita lebih baik di mata Allah (1 Kor. 8;8; 10:25-31). Masalahnya adalah bahwa kebenaran-kebenaran itu diterapkan dalam cara yang salah. 

Orang-orang Korintus mempunyai pemahaman tentang tubuh. Mereka memahami bahwa tubuh pada saatnya akan membusuk di dalam kubur, tetapi jiwa dan rohnya akan kekal. Mereka mempercayai bahwa tindakan-tindakan fisik seseorang tidak mempengaruhi kerohanian seseorang. Bagimanapun jahatnya seseorang, bagaimanapun berdosanya seseorang karena perbuatan-perbuatan kedagiangan, misalnya percabulan, itu tidak akan menghalangi jiwa dan roh seseorang untuk masuk sorga. Itu sebabnya mereka mempersembahkan tubuh mereka ke pada hawa nafsu mereka yaitu percabulan. Mereka melegalkan aktivitas seksual mereka dengan orang lain, mereka tidak menghormati dan menghargai pernikahan dan juga tidak menganggap bahwa seksual itu adalah anugerah dari Tuhan yang harus dilakukan sesuai dengan norma dan hukumNya. Pemahaman tentang tubuh yang keliru inilah yang mau diparbaiki oleh Paulus dalam nats ini. Paulus menjelaskan bahwa seperti segala sesuatu yang telah dimakannya, pada suatu saat tubuh memang akan membusuk di dalam kubur, tetapi itu tidak berarti bahwa tubuh dimaksudkan untuk pencabulan.

Orang percaya harus murni secara moral dan seksual (2 Kor.11:2; Titus 2:5; 1 Ptr. 3:2). Kata "murni" (Yun. hagnos atau amiantos) berarti bebas dari semua noda hal-hal yang cabul. Kata ini menekankan agar menahan diri dari segala tindakan dan pikiran yang merangsang keinginan yang tidak selaras dengan janji-janji nikah seseorang. Kata ini juga menekankan agar mengendalikan diri dan menjauhi semua tindakan dan rangsangan seksual yang dapat menajiskan kemurnian seseorang di hadapan Allah. Hal itu termasuk menguasai tubuh kita sendiri dan "hidup dalam pengudusan dan penghormatan" (1 Tes.4:4) dan bukan “di dalam keinginan hawa nafsu" (1Tes.4:5). Petunjuk alkitabiah ini berlaku baik bagi mereka yang hidup lajang maupun bagi mereka yang sudah menikah. 

Tindakan seksual yang tak bermoral dan ketidaksucian bukan saja berupa perbuatan sanggama dan persetubuhan yang terlarang, tetapi juga meliputi setiap perbuatan pemuasan seksual dengan orang lain yang bukan pasangan nikahnya. Ajaran kontemporer yang mengatakan bahwa hubungan seksual di antara kaum muda dan orang dewasa yang belum nikah tetapi sudah bertunangan dapat diterima sejauh tidak terjadi hubungan sanggama, merupakan ajaran yang bertentangan dengan kekudusan Allah dan norma kesucian Alkitab. Allah secara tegas melarang setiap bentuk hubungan seksual dengan siapa saja yang bukan suami atau istri yang sah (Im.18:6-30; 20:11-21).  

Orang percaya harus menjalankan penguasaan diri dalam kaitan dengan semua hal seksual sebelum pernikahan. Setelah menikah, keintiman seksual harus terbatas pada pasangan nikahnya saja. Alkitab menyebutkan penguasaan diri sebagai salah satu aspek buah Roh, harus dikenakan untuk menjauhkan diri dari perilaku pemuasan seksual dalam konteks perzinaan.

Tubuh dimaksudkan untuk Tuhan, seperti halnya Tuhan dimaksudkan untuk tubuh. Artinya, tubuh kita adalah milik Tuhan karena dengan tubuhNya sendiri yang mati itu, Ia telah menebus dosa-dosa kita (ay.20; 1 Ptr 2:24). Kristus mati atas seluruh diri manusia bukan hanya untuk roh dan jiwa tetapi untuk seluruh keutuhan manusia, termasuk tubuhnya. Kematian kristus menunjukkan bahwa tubuh kita berharga. Tubuh-tubuh yang pernah di tebus oleh kematian Kristus suatu hari kelak akan dibangkitkan seperti hal kebangkitan Kristus sendiri.  

Paulus menolak pemahaman yang dualistik tentang manusia di mana tubuh tidak mempunyai nilai rohani. Bagi Paulus, tubuh bukanlah semata-mata bagian dari manusia yang dapat rusak, melainkan mewakili manusia itu  sendiri. Manusia tidak mempunyai tubuh, melainkan manusia adalah tubuh itu sendiri. Paulus menolak untuk memisahkan kehidupan rohani dari keberadaan dan tindakan-tindakan fisik seseorang. Itu sebabnya ia berkata, “mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah. itu adalah ibadahmu yang sejati” (Rm 12:1). Amin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar