Orang-orang Korintus
mempunyai slogan, “segala sesuatu halal bagiku” atau sama artinya dengan “saya
bebas melakukan apa saja yang saya kehendaki.” Ada kemungkinan bahwa jenis
pemikiran ini muncul di tengah-tengah orang Korintus seiring berkembangnya
libertinisme (kebebasan tanpa batas) di Korintus. Paulus mengutip sebagian dari
slogan-slogan itu, dan kemudian memberi pengertian yang benar tentang istilah
tersebut.
Paulus berkata: Ya,
orang Kristen itu bebas, segala sesuatu halal bagi orang Kristen; tetapi tidak semuanya berguna bagi orang
Kristen. Kalimat tidak semuanya berguna,
menjadi pembatas dari kebebasan setiap orang Kristen. Kebebasan Kristen tidak
boleh dipakai menjadi kesempatan untuk ijin membenarkan semua perbuatan. Paulus
mau menjelaskan bahwa tidak semua praktik kebebasan itu menguntungkan bagi
pembangunan Jemaat (10:23), tidak selalu kebebasan pribadi itu mendatangkan
kebaikan bagi Jemaat atau orang lain. Paulus menambahkan bahwa dia tidak
membiarkan dirinya diperhamba oleh suatu apapun di dalam melaksanakan
kebebasannya.
“Tidak membiarkan diri diperhamba” artinya ada penguasaan diri. Penguasaan
diri bagi orang Kristen menunjukkan tingkat kedewasaan rohaninya, yang tidak
hanya dalam satu aspek saja, tetapi meliputi seluruh aspek kehidupan; suatu
karakteristik yang mampu menahan diri secara moral terhadap segala godaan dan
segala kenikmatan dosa. Penguasaaan
diri sangat diperlukan untuk mencegah kita jatuh ke dalam pelbagai kebebasan
yang tidak bertanggungjawab, Penulis Amsal berkata, “Orang yang tak dapat mengendalikan diri
adalah seperti kota yang roboh temboknya” (Amsal 25:28). Artinya, orang
yang tidak mampu menguasai dirinya maka kepribadian, yang adalah benteng dari hidup
seseorang akan runtuh seiiring dengan pelbagai hal yang tidak mampu ia kontrol.
Menjadi orang yang bisa menguasai diri dalam segala hal adalah sebuah proses,
tidak semudah membalik telapak tangan. Penguasaan diri dan disiplin diri adalah
satu kesatuan yang tak terpisahkan! Paulus menggambarkan hidup sebagai arena
pertandingan, di mana kita harus berjuang dan bisa menguasai diri dalam segala
hal agar dapat mencapai garis finis dan memperoleh hadiah yang disediakan.
Disiplin diri adalah hal penting dalam pertandingan hidup ini.
Tetapi dalam kehidupan sekarang, amat sulit untuk menemukan orang-orang
yang mampu menguasai diri. Ibarat mobil yang kecelakaan karena remnya blong,
demikian banyak dari antara kita yang rem kehidupannya blong, tidak terkendali.
Tentu saja, ini tidak terlepas dari seribu-satu macam tawaran yang diberikan oleh dunia ini, yang kelihatannya
sayang kalau tidak di ambil, sehingga memunculkan moto hidup, nikmati apa yang
tersedia, turuti apa yang kamu inginkan, dll.
Betapa
sering kebebasan moral yang menganjurkan orang untuk memenuhi segala keinginan,
telah demikian kuat mempengaruhi kehidupan kita sekarang. Gaya hidup yang
"aji mumpung" atau serba mumpung. Mumpung lagi muda, maka waktu
dipakai hanya untuk memenuhi kepuasan. Akhirnya, yang ada hanya penyesalan dan
meratapi segala waktu yang terlewati tanpa ada makna. Mumpung lagi punya duit,
semuanya di beli. Mumpung lagi sehat, maka bisa makan ini dan itu. Mumpung lagi
punya kuasa, mumpung lagi punya jabatan, mumpung lagi punya relasi, mumpung
lagi punya ini dan itu, mumpung lagi dan mumpung lagi. Kehidupan “aji mumpung” kita
yakini sebagai cara "menikmati hidup". Seperti halnya keinginan makan
dituruti dengan tindakan makan, demikian juga setiap keinginan harus dituruti!
Tidak peduli benar atau tidak! Yang penting menikmati hidup.
Ada ungkapan: “Kebebabasan untuk bertindak sesuai kehendak
diri, adalah perhambaan yang paling parah dari semua perhambaan yang ada.”
Ungkapan ini menyiratkan bahwa kebebasan kehendak diri adalah kebebasan yang
didorong oleh keinginan dan nafsu kita sendiri. Nafsu yang memperhamba kita
atas setiap tindakan-tindakan kita. Ketika sebuah keinginan dipenuhi, maka
keinginan yang lainnya akan menutut pemenuhannya (kepuasannya). Itulah
perhambaan yang lama di bawah dosa (Rm 6:12-13).
Slogan lainnya
mengungkapkan kebebasan sehubungan dengan apa yang dimakan seseorang: “Makanan
adalah untuk perut dan sebaliknya.” Orang Kristen dibebaskan dari hukum-hukum
pantangan dalam Perjanjian Lama (Mrk. 7:18-23); karena apa yang kita makan
tidak membuat kita lebih baik di mata Allah (1 Kor. 8;8; 10:25-31). Masalahnya
adalah bahwa kebenaran-kebenaran itu diterapkan dalam cara yang salah.
Orang-orang Korintus
mempunyai pemahaman tentang tubuh. Mereka memahami bahwa tubuh pada saatnya
akan membusuk di dalam kubur, tetapi jiwa dan rohnya akan kekal. Mereka
mempercayai bahwa tindakan-tindakan fisik seseorang tidak mempengaruhi
kerohanian seseorang. Bagimanapun jahatnya seseorang, bagaimanapun berdosanya
seseorang karena perbuatan-perbuatan kedagiangan, misalnya percabulan, itu tidak akan menghalangi jiwa dan roh seseorang untuk
masuk sorga. Itu sebabnya mereka mempersembahkan tubuh mereka ke pada hawa
nafsu mereka yaitu percabulan. Mereka melegalkan aktivitas seksual mereka
dengan orang lain, mereka tidak menghormati dan menghargai pernikahan dan juga
tidak menganggap bahwa seksual itu adalah anugerah dari Tuhan yang harus
dilakukan sesuai dengan norma dan hukumNya. Pemahaman tentang tubuh yang keliru
inilah yang mau diparbaiki oleh Paulus dalam nats ini. Paulus menjelaskan bahwa
seperti segala sesuatu yang telah dimakannya, pada suatu saat tubuh memang akan
membusuk di dalam kubur, tetapi itu tidak berarti bahwa tubuh dimaksudkan untuk
pencabulan.
Orang
percaya harus murni secara moral dan seksual (2 Kor.11:2; Titus 2:5; 1 Ptr.
3:2). Kata "murni" (Yun. hagnos atau amiantos) berarti bebas dari
semua noda hal-hal yang cabul. Kata ini menekankan agar menahan diri dari
segala tindakan dan pikiran yang merangsang keinginan yang tidak selaras dengan
janji-janji nikah seseorang. Kata ini juga menekankan agar mengendalikan diri
dan menjauhi semua tindakan dan rangsangan seksual yang dapat menajiskan
kemurnian seseorang di hadapan Allah. Hal itu termasuk menguasai tubuh kita
sendiri dan "hidup dalam pengudusan dan penghormatan" (1 Tes.4:4) dan
bukan “di dalam keinginan hawa nafsu" (1Tes.4:5). Petunjuk alkitabiah ini
berlaku baik bagi mereka yang hidup lajang maupun bagi mereka yang sudah
menikah.
Tindakan seksual yang
tak bermoral dan ketidaksucian bukan saja berupa perbuatan sanggama dan
persetubuhan yang terlarang, tetapi juga meliputi setiap perbuatan pemuasan
seksual dengan orang lain yang bukan pasangan nikahnya. Ajaran kontemporer yang
mengatakan bahwa hubungan seksual di antara kaum muda dan orang dewasa yang
belum nikah tetapi sudah bertunangan dapat diterima sejauh tidak terjadi
hubungan sanggama, merupakan ajaran yang bertentangan dengan kekudusan Allah
dan norma kesucian Alkitab. Allah secara tegas melarang setiap bentuk hubungan
seksual dengan siapa saja yang bukan suami atau istri yang sah (Im.18:6-30;
20:11-21).
Orang percaya harus
menjalankan penguasaan diri dalam kaitan dengan semua hal seksual sebelum
pernikahan. Setelah menikah, keintiman seksual harus terbatas pada pasangan
nikahnya saja. Alkitab menyebutkan penguasaan diri sebagai salah satu aspek
buah Roh, harus dikenakan untuk menjauhkan diri dari perilaku pemuasan seksual
dalam konteks perzinaan.
Tubuh dimaksudkan untuk
Tuhan, seperti halnya Tuhan dimaksudkan untuk tubuh. Artinya, tubuh kita adalah
milik Tuhan karena dengan tubuhNya sendiri yang mati itu, Ia telah menebus
dosa-dosa kita (ay.20; 1 Ptr 2:24). Kristus mati atas seluruh diri manusia
bukan hanya untuk roh dan jiwa tetapi untuk seluruh keutuhan manusia, termasuk
tubuhnya. Kematian kristus menunjukkan bahwa tubuh kita berharga. Tubuh-tubuh
yang pernah di tebus oleh kematian Kristus suatu hari kelak akan dibangkitkan
seperti hal kebangkitan Kristus sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar