Hati
Yang Suci
Matius
5 : 8
Bac.
Pagi : Bilangan 22 : 22 – 28 Bac. Malam : 1 Korintus 7 : 32 – 40
Marende BE. No. 485 : 1
Ketika rumah kita
kotor tentu kita tidak merasa nyaman tinggal di dalamnya. Oleh karena itu kita
cepat-cepat membersihkannya sehingga ketika sudah bersih maka tercipta
kenyamanan. Sudah barang tentu juga kita tidak akan mau memakai pakaian kotor.
Melihatnya saja kita tidak suka, apalagi memakainya. Itulah rupa-rupa tanggapan
negatif kita tentang sesuatu yang kotor. Tidak seorang pun yang menyukai yang
kotor atau yang tidak bersih.
Jika demikian penilaian
kita tentang yang kotor, apalagi kalau itu menyangkut hati. Hati yang kotor,
yang tidak bersih atau istilah nats ini, yang tidak suci, tentu kita tidak
menginginkannya. Karena hati yang tidak bersih membuat kehidupan kita tidak
nyaman. Kenapa? Karena dari dalam hatilah terpancar cahaya kehidupan, dan jika
hati kita tidak suci maka cahaya kehidupan tidak akan terpancar. Jika cahaya
itu terpancarkan, maka hidup itu akan indah dan kita merasa nyaman
menghidupinya.
Apa maksudnya “suci”?
Kata “suci” dalam nats ini berasal dari kata Yunani, katharos yang artinya: tidak tercampur, tidak mengandung benda lain
atau sama-sekali murni. Itu sebabnya ucapan ini dapat di terjemahkan, “Berbahagialah orang yang motivasi hatinya
tidak bercampur aduk dengan hal-hal yang lain, karena orang yang demikian yang
akan melihat Allah.”
Oleh karena itu,
renungan ini mengingatkan kita untuk meninjau kembali tentang motivasi kita
dalam melakukan sesuatu hal. Apakah hati kita tulus dalam melakukan sesuatu
hal? Atau apakah kita melakukannya dengan hati dan jiwa yang luhur? Seringkali
apa yang terjadi tidak seperti apa yang kita harapakan, karena motivasi yang
tidak luhur. Salah satu contoh yang sering terjadi adalah, balasan. Kita melakukan sesuatu karena kita mengharapkan balasannya.
Kita menolong orang lain karena kita mengharapkan balasannya, bahkan kita
sering berkata, “kalau bukan kita yang menerimanya, suatu saat pasti anak kita
yang menerimanya.”
Bagian dari ucapan
berbahagia ini meminta kita agar kita benar-benar memeriksa diri atas setiap
perbuatan baik yang kita lakukan. Apakah kita ke Gereja untuk berjumpa dengan
Allah, atau karena tradisi dan kebiasaan, atau hanya untuk berjumpa dengan
teman-teman? Buktinya ketika ibadah berjalan, dari awal sampai akhir ibadah
kita hanya sibuk dengan diri kita sendiri. Apakah kita berdoa karena memang
kita merasa bahwa tanpa Tuhan, kita bukanlah siapa-siapa? Ataukah doa hanya sebagai
sarana untuk melampiaskan keinginan atau kepuasan pribadi? Buktinya, betapa
sering doa-doa kita hanyalah sarana untuk mengajukan permintaan seperti daftar
belanja kita kepada Tuhan. Apakah kita bekerja secara sungguh-sungguh sebagai
cara/jalan kita mensyukuri bahwa Tuhanlah yang memberikan pekerjaan itu,
ataukah hanya sebagai cara supaya kita cepat naik pangkat atau jabatan?
Buktinya, betapa sering kita sakit hati ketika rekan kita yang naik jabatan,
sementara kita tidak. Betapa sering kita tidak suka apabila orang yang golongannya
di bawah kita, kariernya cepat melesat, sementara kita tidak.
Melakukan pemeriksaan
terhadap motivasi diri memang sangat sulit dan akan membuat kita malu. Karena
kita akan mendapatkan bahwa motivasi kita ternyata bercampur-aduk dengan
hal-hal lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar