Laman

Selasa, 27 Januari 2015

Lepaskan, Dan Biarkan Berlalu!



Pada suatu ketika, hiduplah seorang tua di pulau Kreta. Dia sangat mencintai tanah kelahirannya itu sehingga pada saat hampir meninggal, dia memanggil anak-anaknya dan meminta mereka untuk membawanya ke luar rumah lalu meletakkannya di atas tanah. Sesaat sebelum dia menghembuskan nafasnya yang terakhir, dia berusaha menggapai tanah di sisinya dan kemudian berhasil mengambil segenggam tanah, barulah dia meninggal. 

Sekarang dia muncul di depan gerbang surga sambil menggenggam tanah itu. Tuhan datang sebagai seorang yang jenggotnya sudah beruban,  lalu menyalami dia, “Selamat Datang! Engkau memang seorang yang baik selama hidup. Silakan masuk dalam kebahagiaan surga.” Tetapi ketika orangtua itu hendak melangkah masuk ke dalam surga, Tuhan mengatakan kepadanya, “engkau harus melepaskan tanah dalam genggamanmu itu.” Orangtua itu menjawab, “tidak akan pernah” sambil melangkah mundur. Karena hal itu, Tuhan meninggalkan dia di luar gerbang.

Beberapa lama kemudian, Tuhan datang lagi sebagai seorang sahabat, teman minumnya dulu. Mereka minum sambil mengisahkan cerita-cerita. Kemudian Tuhan berkata kepadanya, “baik, sekarang sudah waktunya untuk masuk surga, sahabatku. Mari kita pergi.” Lalu mereka berjalan untuk memasuhi gerbang surga berhiaskan mutiara. Sekali lagi, Tuhan meminta orangtua itu melepaskan tanah dalam genggamannya tetapi dia menolak.

Waktu pun berlalu dan Tuhan kali ini datang sebagai seorang cucu yang menyenangkan dan lucu. Dia mengatakan, “kakek, engkau memang hebat; kami semua sangat rindu padamu. Mari masuk bersama dengan saya.” Orangtua itu mengangguk dan cucu itu menopang dia sebab pada saat itu orangtua itu sudah menjadi sangat tua dan menderita arthritis. Penyakit ini begitu menyakitkan sehingga dia harus menggenggam tanah itu dengan kedua tangannya. Mereka berjalan menuju gerbang mutiara dan pada saat mendekati gerbang, kekuatannya habis. Jari-jarinya tidak kuat lagi untuk menggenggam tanah tadi sehingga akhirnya tanah itu jatuh. Orangtua itu menjadi sangat sedih. Namun, setelah dia masuk ke dalam surga, hal pertama yang dilihatnya di surga ialah pulau yang sangat di cintainya, yaitu pulau Kreta, yang adalah tanah yang ia genggam, tanah kelahirannya. 

Rabu, 21 Januari 2015

Berhenti Berjuang

Seorang anak yang hampir tenggelam berjuang di dalam air. Di tepian berdiri ibunya yang diliputi kesedihan dan ketakutan. Di samping ibu itu berdiri seorang lelaki kuat, yang nampak acuh terhadap nasib anak itu. Berulangkali ibu itu meminta lelaki itu untuk menyelamatkan anaknya, tetapi dia tetap tidak bergerak sedikit pun. 

Setelah si anak mulai kehabisan tenaga untuk berjuang di dalam air, pada saat itu lelaki itu melompat ke dalam sungai dan menyelamatkan anak itu. Lalu ibu anak itu bertanya, “mengapa tidak sejak awal engkau menolong anak saya?” Lelaki itu menjawab, “Nyonya, saya tidak dapat menyelamatkan anak nyonya, selama dia masih berjuang. Dia akan menenggelamkan kami berdua. Tetapi ketika dia semakin lemah dan berhenti berjuang, maka mudah bagi saya untuk menyelamatkannya.”


Renungan :
Tuhan tidak akan menolong kita, ketika kita hanya mengandalkan/bersandar pada kekuatan dan usaha-usaha yang kita lakukan. Namun demikian, Dia senantiasa menunggu, pada saat mana kita mulai lemah, atau pada saat mana kita mulai sadar bahwa ternyata usaha-usaha dan kekuatan itu, tidak akan mampu menolong kita; pada saat kita menyadarinya, pada saat itulah Tuhan datang menolong kita, sehingga kita diselamatkan.

Minggu, 18 Januari 2015

Mencari Rahasia Kebahagiaan



Seorang pemilik toko menyuruh anaknya pergi mencari rahasia kebahagiaan dari orang paling bijaksana di dunia. Anak itu melintasi padang pasir selama empat puluh hari, dan akhirnya tiba di sebuah kastil yang indah, jauh tinggi di puncak gunung. Di sanalah orang bijak itu tinggal.

Namun ketika dia memasuki aula kastil itu, si anak muda bukannya menemukan orang bijak tersebut, melainkan melihat kesibukan besar di  dalamnya: para pedangang berlalu-lalang, orang-orang bercakap-cakap di sudut-sudut, ada orkestra kecil sedang memainkan musik lembut dan ada meja yang penuh dengan piring-piring berisi makanan-makanan
enak. Si orang bijak berbicara dengan setiap orang dan anak muda itu harus menunggu selama dua jam. Setelah itu, barulah tiba gilirannya.

Si orang bijak mendengarkan dengan seksama saat anak muda itu menjelaskan maksud kedatangnnya, namun dia mengatakan sedang tidak punya waktu untuk menjelaskan rahasia kebahagiaan. dia menyarankan anak muda itu melihat-lihat sekeliling istana, dan kembali dua jam lagi.
Sementara itu, si orang bijak memberi sebuah tugas kepada si anak muda. Diberikannya sendok teh berisi dua tetes minyak.Sambil kau berjalan-jalan, bawa sendok ini tapi jangan sampai minyaknya tumpah.” Anak muda itu pun mulai berkeliling-keliling naik turun sekian banyak tangga istana, sambil matanya tertuju pada sendok yang dibawanya. Setelah dua jam, dia kembali ke ruangan tempat orang bijak itu berada. Nah, kata si orang bijak,'apakah kau melihat taman hasil karya ahli taman yang menghabiskan sepuluh tahun untuk menciptakannya? Apa kau juga melihat perkamen-perkamen indah di perpustakaanku? Anak muda itu merasa malu. Dia mengakui bahwa dia tidak sempat melihat apa-apa. Dia terlalu terfokus pada usaha menjaga minyak di sendok itu supaya tidak tumpah. "Kalau begitu, pergilah lagi berjalan-jalan, dan nikmatilah keindahan- keindahan istanaku,' kata si orang bijak. 'Tak mungkin kau bisa mempercayai seseorang, kalau kau tidak mengenal rumahnya.' Merasa lega, anak muda itu mengambil sendoknya dan kembali menjelajahi istana tersebut, kali ini dia mengamati semua karya seni di langit-langit dan tembok-tembok. Dia menikmati taman-taman, gunung- gunung di sekelilingnya, keindahan bunga-bunga, serta cita rasa yang terpancar dari segala sesuatu di sana. Ketika kembali menghadap orang bijak itu, diceritakannya dengan mendetail segala pemandangan yang telah dilihatnya. 'Tapi di mana tetes-tetes minyak yang kupercayakan padamu itu?' Tanya si orang bijak. "Si anak muda memandang sendok di tangannya, dan menyadari dua tetes minyak itu sudah tidak ada.

 "Nah, hanya ada satu nasihat yang bisa kuberikan untukmu,'
kata orang paling bijak itu. 'Rahasia kebahagiaan adalah dengan menikmati segala hal menakjubkan di dunia ini, tanpa pernah melupakan tetes-tetes minyak di sendokmu.’
Renungan:
“Tetes tetes minyak itu adalah tujuan dan target hidup kita, keindahan itu adalah suasana dan pemandangan indah yang harusnya kita nikmati. Bukan berarti dengan fokus dan sibuk terhadap target dan tujuan kita, kita harus melupakan dan tidak bisa menikmati keindahan suasana dan pemandangan di sekitar kita, apakah itu istri/suami, anak, saudara, orangtua, teman kita, atau suasana rumah yang indah. Betapa banyak orang bahkan rela mengorbankan suasana yang indah bersama orang orang yang dicintainya demi mencapai tujuannya, bahkan tragisnya ketika semua tujuan dan targetnya tercapai, keindahan dan kenikmatan yang ia dambakan telah musnah dan hilang, semoga kita bisa menikmati keindahan dunia yang diberikan Tuhan tanpa melupakan tujuan dan target hidup kita.”

Sabtu, 17 Januari 2015

Khotbah Minggu, 18 Januari 2015 : Pengendalian Diri [1 Korintus 6 : 12 - 20]




Orang-orang Korintus mempunyai slogan, “segala sesuatu halal bagiku” atau sama artinya dengan “saya bebas melakukan apa saja yang saya kehendaki.” Ada kemungkinan bahwa jenis pemikiran ini muncul di tengah-tengah orang Korintus seiring berkembangnya libertinisme (kebebasan tanpa batas) di Korintus. Paulus mengutip sebagian dari slogan-slogan itu, dan kemudian memberi pengertian yang benar tentang istilah tersebut. 

Paulus berkata: Ya, orang Kristen itu bebas, segala sesuatu halal bagi orang Kristen; tetapi tidak semuanya berguna bagi orang Kristen. Kalimat tidak semuanya berguna, menjadi pembatas dari kebebasan setiap orang Kristen. Kebebasan Kristen tidak boleh dipakai menjadi kesempatan untuk ijin membenarkan semua perbuatan. Paulus mau menjelaskan bahwa tidak semua praktik kebebasan itu menguntungkan bagi pembangunan Jemaat (10:23), tidak selalu kebebasan pribadi itu mendatangkan kebaikan bagi Jemaat atau orang lain. Paulus menambahkan bahwa dia tidak membiarkan dirinya diperhamba oleh suatu apapun di dalam melaksanakan kebebasannya. 

“Tidak membiarkan diri diperhamba” artinya ada penguasaan diri. Penguasaan diri bagi orang Kristen menunjukkan tingkat kedewasaan rohaninya, yang tidak hanya dalam satu aspek saja, tetapi meliputi seluruh aspek kehidupan; suatu karakteristik yang mampu menahan diri secara moral terhadap segala godaan dan segala kenikmatan dosa. Penguasaaan diri sangat diperlukan untuk mencegah kita jatuh ke dalam pelbagai kebebasan yang tidak bertanggungjawab, Penulis Amsal berkata, “Orang yang tak dapat mengendalikan diri adalah seperti kota yang roboh temboknya” (Amsal 25:28). Artinya, orang yang tidak mampu menguasai dirinya maka kepribadian, yang adalah benteng dari hidup seseorang akan runtuh seiiring dengan pelbagai hal yang tidak mampu ia kontrol. Menjadi orang yang bisa menguasai diri dalam segala hal adalah sebuah proses, tidak semudah membalik telapak tangan. Penguasaan diri dan disiplin diri adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan! Paulus menggambarkan hidup sebagai arena pertandingan, di mana kita harus berjuang dan bisa menguasai diri dalam segala hal agar dapat mencapai garis finis dan memperoleh hadiah yang disediakan. Disiplin diri adalah hal penting dalam pertandingan hidup ini. 

Tetapi dalam kehidupan sekarang, amat sulit untuk menemukan orang-orang yang mampu menguasai diri. Ibarat mobil yang kecelakaan karena remnya blong, demikian banyak dari antara kita yang rem kehidupannya blong, tidak terkendali. Tentu saja, ini tidak terlepas dari seribu-satu macam tawaran yang  diberikan oleh dunia ini, yang kelihatannya sayang kalau tidak di ambil, sehingga memunculkan moto hidup, nikmati apa yang tersedia, turuti apa yang kamu inginkan, dll.  

Betapa sering kebebasan moral yang menganjurkan orang untuk memenuhi segala keinginan, telah demikian kuat mempengaruhi kehidupan kita sekarang. Gaya hidup yang "aji mumpung" atau serba mumpung. Mumpung lagi muda, maka waktu dipakai hanya untuk memenuhi kepuasan. Akhirnya, yang ada hanya penyesalan dan meratapi segala waktu yang terlewati tanpa ada makna. Mumpung lagi punya duit, semuanya di beli. Mumpung lagi sehat, maka bisa makan ini dan itu. Mumpung lagi punya kuasa, mumpung lagi punya jabatan, mumpung lagi punya relasi, mumpung lagi punya ini dan itu, mumpung lagi dan mumpung lagi. Kehidupan “aji mumpung” kita yakini sebagai cara "menikmati hidup". Seperti halnya keinginan makan dituruti dengan tindakan makan, demikian juga setiap keinginan harus dituruti! Tidak peduli benar atau tidak! Yang penting menikmati hidup.

Ada ungkapan: “Kebebabasan untuk bertindak sesuai kehendak diri, adalah perhambaan yang paling parah dari semua perhambaan yang ada.” Ungkapan ini menyiratkan bahwa kebebasan kehendak diri adalah kebebasan yang didorong oleh keinginan dan nafsu kita sendiri. Nafsu yang memperhamba kita atas setiap tindakan-tindakan kita. Ketika sebuah keinginan dipenuhi, maka keinginan yang lainnya akan menutut pemenuhannya (kepuasannya). Itulah perhambaan yang lama di bawah dosa (Rm 6:12-13).

Slogan lainnya mengungkapkan kebebasan sehubungan dengan apa yang dimakan seseorang: “Makanan adalah untuk perut dan sebaliknya.” Orang Kristen dibebaskan dari hukum-hukum pantangan dalam Perjanjian Lama (Mrk. 7:18-23); karena apa yang kita makan tidak membuat kita lebih baik di mata Allah (1 Kor. 8;8; 10:25-31). Masalahnya adalah bahwa kebenaran-kebenaran itu diterapkan dalam cara yang salah. 

Orang-orang Korintus mempunyai pemahaman tentang tubuh. Mereka memahami bahwa tubuh pada saatnya akan membusuk di dalam kubur, tetapi jiwa dan rohnya akan kekal. Mereka mempercayai bahwa tindakan-tindakan fisik seseorang tidak mempengaruhi kerohanian seseorang. Bagimanapun jahatnya seseorang, bagaimanapun berdosanya seseorang karena perbuatan-perbuatan kedagiangan, misalnya percabulan, itu tidak akan menghalangi jiwa dan roh seseorang untuk masuk sorga. Itu sebabnya mereka mempersembahkan tubuh mereka ke pada hawa nafsu mereka yaitu percabulan. Mereka melegalkan aktivitas seksual mereka dengan orang lain, mereka tidak menghormati dan menghargai pernikahan dan juga tidak menganggap bahwa seksual itu adalah anugerah dari Tuhan yang harus dilakukan sesuai dengan norma dan hukumNya. Pemahaman tentang tubuh yang keliru inilah yang mau diparbaiki oleh Paulus dalam nats ini. Paulus menjelaskan bahwa seperti segala sesuatu yang telah dimakannya, pada suatu saat tubuh memang akan membusuk di dalam kubur, tetapi itu tidak berarti bahwa tubuh dimaksudkan untuk pencabulan.

Orang percaya harus murni secara moral dan seksual (2 Kor.11:2; Titus 2:5; 1 Ptr. 3:2). Kata "murni" (Yun. hagnos atau amiantos) berarti bebas dari semua noda hal-hal yang cabul. Kata ini menekankan agar menahan diri dari segala tindakan dan pikiran yang merangsang keinginan yang tidak selaras dengan janji-janji nikah seseorang. Kata ini juga menekankan agar mengendalikan diri dan menjauhi semua tindakan dan rangsangan seksual yang dapat menajiskan kemurnian seseorang di hadapan Allah. Hal itu termasuk menguasai tubuh kita sendiri dan "hidup dalam pengudusan dan penghormatan" (1 Tes.4:4) dan bukan “di dalam keinginan hawa nafsu" (1Tes.4:5). Petunjuk alkitabiah ini berlaku baik bagi mereka yang hidup lajang maupun bagi mereka yang sudah menikah. 

Tindakan seksual yang tak bermoral dan ketidaksucian bukan saja berupa perbuatan sanggama dan persetubuhan yang terlarang, tetapi juga meliputi setiap perbuatan pemuasan seksual dengan orang lain yang bukan pasangan nikahnya. Ajaran kontemporer yang mengatakan bahwa hubungan seksual di antara kaum muda dan orang dewasa yang belum nikah tetapi sudah bertunangan dapat diterima sejauh tidak terjadi hubungan sanggama, merupakan ajaran yang bertentangan dengan kekudusan Allah dan norma kesucian Alkitab. Allah secara tegas melarang setiap bentuk hubungan seksual dengan siapa saja yang bukan suami atau istri yang sah (Im.18:6-30; 20:11-21).  

Orang percaya harus menjalankan penguasaan diri dalam kaitan dengan semua hal seksual sebelum pernikahan. Setelah menikah, keintiman seksual harus terbatas pada pasangan nikahnya saja. Alkitab menyebutkan penguasaan diri sebagai salah satu aspek buah Roh, harus dikenakan untuk menjauhkan diri dari perilaku pemuasan seksual dalam konteks perzinaan.

Tubuh dimaksudkan untuk Tuhan, seperti halnya Tuhan dimaksudkan untuk tubuh. Artinya, tubuh kita adalah milik Tuhan karena dengan tubuhNya sendiri yang mati itu, Ia telah menebus dosa-dosa kita (ay.20; 1 Ptr 2:24). Kristus mati atas seluruh diri manusia bukan hanya untuk roh dan jiwa tetapi untuk seluruh keutuhan manusia, termasuk tubuhnya. Kematian kristus menunjukkan bahwa tubuh kita berharga. Tubuh-tubuh yang pernah di tebus oleh kematian Kristus suatu hari kelak akan dibangkitkan seperti hal kebangkitan Kristus sendiri.  

Paulus menolak pemahaman yang dualistik tentang manusia di mana tubuh tidak mempunyai nilai rohani. Bagi Paulus, tubuh bukanlah semata-mata bagian dari manusia yang dapat rusak, melainkan mewakili manusia itu  sendiri. Manusia tidak mempunyai tubuh, melainkan manusia adalah tubuh itu sendiri. Paulus menolak untuk memisahkan kehidupan rohani dari keberadaan dan tindakan-tindakan fisik seseorang. Itu sebabnya ia berkata, “mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah. itu adalah ibadahmu yang sejati” (Rm 12:1). Amin